Secara umum, bahan
hasil pertanian, peternakan, dan perikanan setelah dipanen akan mudah mengalami
kerusakan sehingga terjadi penurunan mutu. Untuk menjaga kualitas bahan pangan
dan produknya, maka bahan pangan tersebut Setiap metode pengawetan pangan hanya
akan berhasil jika mekanisme pengawetannya tepat dan sesuai. Bahan pangan hasil
pertanian masing-masing mempunyai sifat-sifat yang berbeda-beda yang penting
untuk diketahui untuk digunakan sebagai dasar saat proses penanganan dan
pengolahan.
Dengan mengetahui
sifat setiap bahan pangan, diharapkan proses penanganan dan pengolahan akan
tepat dan sesuai. Beberapa metode untuk pengawetan bahan pangan adalah sebagai
berikut:
1.
Pengawetan dengan Suhu Rendah
Salah satu proses
usaha untuk mengawetkan adalah dengan menyimpan bahan makanan di dalam lemari
pendingin yaitu kulkas atau freezer (pembeku). Lemari pendingin memiliki suhu
yang rendah. Umumnya yang dimaksud dengan suhu rendah ini berkisar antara -2 C
sampai 8 C.
Cara pengawetan
pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu pendinginan (cooling) dan pembekuan
(freezing). Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada
umumnya mencapai suhu 5 sampai 8 C atau -2 sampai 8 C. Pembekuan adalah
penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan
pada suhu -12 sampai -24 C. Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada
suhu -24 sampai -40 C.
Buah-buahan dan
sayur-sayuran juga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Suhu di mana produk
mempunyai keawetan yang paling lama disebut suhu optimum. Jika penyimpanan
dilakukan di bawah suhu optimum, atau di tempat yang terlalu dingin,
buah-buahan dan sayur-sayuran akan mengalami kerusakan sik yang sering disebut
chilling injury. Apabila penyimpanan buah dan sayuran dilakukan di atas suhu
optimum, atau pada suhu yang terlalu hangat, juga tidak akan menghasilkan
keawetan.
2.
Pengawetan dengan Suhu Tinggi
Pengawetan dengan
suhu panas sebenarnya sudah lama digunakan, sejak manusia dikenalkan dengan
istilah memasak. Saat kamu memasak, misalnya merebus atau menggoreng suatu
bahan makanan, sebenarnya kamu sedang melakukan proses pengawetan dengan suhu
panas. Tetapi seringkali kita tidak mengetahui batasan pemanasan yang dilakukan
terhadap makanan.
Jika pemanasannya
tidak tepat, maka akan banyak nilai gizi yang hilang dari makanan yang dimasak
tersebut. Pemanasan yang baik adalah secukupnya agar nilai gizi yang hilang
tidak terlalu banyak. Dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengawetan
dengan panas, yaitu sebagai berikut:
1) Jumlah panas
yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba pembusuk dan mikroba
pathogen.
2) Jumlah panas
yang digunakan tidak boleh menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa makanan.
Jumlah panas yang
diberikan dalam proses pengolahan pangan tidak boleh lebih dari jumlah minimal
panas yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba yang dimaksud. Dalam proses
pemanasan, ada hubungan antara panas dan waktu, yaitu jika suhu yang digunakan
rendah, maka waktu pemanasan harus lebih lama. Jika suhu tinggi, waktu
pemanasan singkat. Sebagai contoh misalnya jumlah panas yang diterima bahan
jika kita memanaskan selama 10 jam di dalam air mendidih (100 C) kira-kira
sama dengan memanaskan bahan tersebut selama 20 menit pada suhu 121 C.
Berdasarkan
penggunaan suhu, waktu dan tujuan pemanasan, proses pemanasan dapat dibagi
dalam dua kelompok besar, yaitu proses pasteurisasi dan sterilisasi.
a. Sterilisasi
Istilah sterilisasi
berarti membebaskan bahan dari semua mikroba. Karena beberapa spora bakteri
relatif lebih tahan terhadap panas. Maka sterilisasi biasanya dilakukan pada
suhu yang tinggi misalnya 121 C (250 F) selama 15 menit. Pada makanan dikenal
istilah sterilisasi komersial.
Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap
sebagian besar pangan di dalam kaleng atau botol. Makanan yang steril secara
komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin)
dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk.
Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi akan mempunyai
daya awet yang tinggi; beberapa bulan sampai beberapa tahun. Contoh aplikasi
proses sterilisasi adalah pada proses pengalengan.
b. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumya dilakukan
di bawah 100 C) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme
pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya
awet beberapa hari (misalnya produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan
(misalnya produk sari buah pateurisasi). Walaupun proses ini hanya mampu
membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering
diaplikasikan terutama jika dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih
tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu).
Tujuan utama proses
pemanasan hanyalah untuk membunuh mikro- organisme pathogen (penyebab penyakit;
misalnya pada susu) atau inaktivasi (menghentikan aktivitas) enzim-enzim yang
dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah). Makanan yang dipasteurisasi tidak
dapat menyebabkan penyakit tetapi mempunyai masa simpan yang terbatas
disebabkan mikroba nonpatogen dan pembusuk masih ada dan dapat berkembang biak.
Oleh karena itu pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain,
misalnya makanan yang dipasteurisasi kemudian disimpan dengan cara pendinginan
(di dalam lemari pendingin).
c. Blanching
Blanching adalah pemanasan pendahuluan yang biasanya dilakukan terhadap
buah-buahan dan sayur-sayuran untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan
pangan tersebut, di antaranya adalah enzim katalase dan peroksidase yang
merupakan enzim-enzim yang paling tahan panas di dalam sayur-sayuran. Blanching
selalu dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan karena pembekuan tidak dapat
menghambat keaktifan enzim dengan sempurna. Bergantung pada panas yang
diberikan, blanching juga dapat mematikan beberapa mikroba. Blanching biasanya
dilakukan pada
d. Sterilisasi
Produk secara Sinambung (Proses Aseptis)
Pada prinsipnya,
proses sterilisasi dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi suhu dan waktu.
Jika digunakan suhu yang lebih tinggi, waktu sterilisasinya makin pendek.
Diketahui bahwa kombinasi suhu yang lebih tinggi dan waktu pendek ini dapat
memberikan keuntungan berupa mutu produk yang lebih baik. Karena itulah, muncul
konsep sterilisasi High Temperatur Short Time (HTST) dan Ultra High Temperature
(UHT). Pada kondisi ini, sterilisasi dilakukan pada suhu 130-145 C tetapi hanya
dalam beberapa detik saja. Karena itu, diperlukan peralatan pemanasan yang mampu
mencapai suhu tersebut dan sekaligus secara cepat mampu mendinginkannya
kembali.
Pada sistem aseptik
ini, dilakukan proses sterilisasi produk pangan dan bahan pengemas (wadah)
secara terpisah. Pengisisan produk dilakukan setelah wadah dan produk terlebih
dahulu disterilisasikan sehingga untuk mempertahankan sterilitas produk dan
wadah, proses pengisian harus dilakukan pada ruangan yang steril. Karena
itulah, proses pengisian dan pengemasan dengan cara ini disebut sebagai proses
pengemasan aseptik karena memang diperlukan kondisi yang aseptik.
3.
Pengawetan dengan Pengeringan
Pengeringan adalah
suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu
bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas.
Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai suatu batas agar mikroba
tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya.
Keuntungan produk
hasil pengeringan adalah awet, lebih ringan, volume lebih kecil sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi, serta menimbulkan citarasa khas.
Selain itu, banyak bahan yang hanya dapat digunakan apabila telah dikeringkan,
misalnya tembakau, kopi, teh, biji-bijian, dan lain- lainnya. Pengeringan dapat
berlangsung dengan baik jika pemanasan secara merata, dan uap air dikeluarkan
dari seluruh permukaan bahan tersebut.
Faktor-faktor yang
memengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan,
aliran udara, dan tekanan uap di udara. Pengeringan dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu alat pengering (articial drier), atau dengan
penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan menggunakan energi
langsung dari sinar matahari. Pengeringan buatan (articial drying)
mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu
pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihan dapat diawasi
sebaik-baiknya.
Penjemuran
mempunyai keuntungan karena energi panas yang digunakan murah dan bersifat
murah serta melimpah, tetapi kerugiannya adalah jumlah panas sinar matahari
yang tidak tetap sepanjang hari, dan kenaikan suhu tidak dapat diatur sehingga
waktu penjemuran sukar untuk ditentukan dengan tepat. Selain itu, karena
penjemuran dilakukan di tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan sinar
matahari, kebersihannya harus diawasi dengan sungguh-sungguh.
Kadar air suatu
bahan yang dikeringkan memengaruhi seberapa jauh penguapan dapat berlangsung,
lamanya proses pengeringan dan jalannya proses pengeringan.
4.
Pengawetan dengan Bahan Kimia
Pengawetan bahan
pangan dapat juga dilakukan dengan melakukan penambahan bahan kimia tertentu,
yang telah diketahui memiliki efek mengawetkan. Penggunaan bahan kimia untuk
pengawet harus digunakan dalam takaran yang tepat dan sesuai dengan ketentuan
agar aman bagi manusia.
a. Pemberian Asam
Asam dapat
menurunkan pH makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Asam dapat dibagi dalam 3 golongan yaitu:
(1) asam alami yang pada umumnya adalah asam organik misalnya asam tartrat
dan asam dari buah-buahan, misalnya asam sitrat seperti yang terdapat pada
jeruk nipis dan belimbing wuluh;
(2) asam yang dihasilkan melalui proses fermentasi, misalnya asam laktat dan
asam asetat; dan
(3) asam-asam sintetik, misalnya asam malat, asam fosfat, dan asam adipat.
Cuka adalah asam
sintetik yang dapat kita temui sehari-hari. Di samping sebagai bahan pengawet,
asam juga digunakan untuk menambah rasa, untuk mengurangi rasa manis,
memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang mengandung pektin, memperbaiki
tekstur dari jeli dan selai, membantu ekstraksi pektin dan pigmen dari
buah-buahan dan sayur- sayuran, menaikkan efektivitas benzoat sebagai bahan
pengawet dan lain-lainnya.
b. Pemberian Gula
dan Garam
Pengawetan pangan
dengan pemberian gula sudah umum dilakukan, misalnya pengawetan buah-buahan
dalam sirop dalam bentuk manisan. Demikian juga, pengawetan pangan dengan
pemberian garam umum dilakukan adalah pengasinan ikan. Gula dan garam merupakan
bahan yang efektif untuk pengawetan pangan karena sifatnya yang dapat menarik
air dari dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering karena proses yang
disebut osmosis.
c. Pemberian
Benzoat
Benzoat dan
turunan-turunannya dapat menghancurkan sel-sel mikroba terutama kapang. Asam
benzoat, natrium benzoat, asam parahidrobenzoat dan turunan-turunannya
merupakan kristal putih yang dapat ditambahkan secara langsung ke dalam makanan
atau dilarutkan terlebih dahulu di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya. Asam
benzoat kurang kelarutannya di dalam air. Oleh karena itu, asam benzoat lebih
sering digunakan dalam bentuk garamnya, yaitu natrium benzoat.
Benzoat lebih
efektif digunakan dalam makanan-makanan yang asam sehingga banyak digunakan
sebagai pengawet di dalam sari buah-buahan, jeli, sirop, dan makanan lainnya
yang mempunyai pH rendah. Adapun paraaminobenzaot biasa digunakan untuk pangan
dengan pH tinggi.
d. Pemberian Asam
Sorbat
Asam sorbat dapat
mencegah pertumbuhan kapang dan bakteri dengan cara menginaktifkan enzim
dehidrogenase yang diperlukan oleh mikroba tersebut untuk metabolisme
karbohidrat dan asam-asam lemak. Asam sorbat, kalium sorbat atau natrium sorbat
biasanya sering digunakan di dalam makanan untuk mencegah pertumbuhan kapang.
Jumlah asam sorbat
yang digunakan misalnya 0,2 persen untuk bermacam-macam keju, 0,1 persen untuk
kue-kue, 0,025 – 0,1 persen untuk acar, 0,02 persen untuk sari buah anggur,
0,025 – 0,050 persen untuk minuman ringan, 0,1 – 0,15 persen untuk cokelat atau
sirop, dan 0,05 – 0,1 persen untuk ikan yang diasap atau digarami.
e. Pemberian Sulfur
Dioksida (SO)
Sari buah-buahan atau
makanan lain yang bersifat asam (pH rendah) dapat diawetkan dengan menambahkan
SO. Jumlah SO yang digunakan untuk sari buah-buahan adalah 350-600 ppm.
Sulfur dioksida juga dapat digunakan untuk mencuci alat-alat yang digunakan
dalam pembuatan anggur atau cuka dengan kadar 50-75 ppm. Pada pembuatan anggur
atau cuka, SO ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan kapang, ragi, dan
kadang-kadang bakteri selama penyimpanan.
f. Antioksidan
Adanya panas dapat
merangsang atau menstimulir reaksi oksidasi. Makin tinggi suhu, kecepatan
oksidasi akan makin bertambah. Sinar juga dapat mempercepat oksidasi. Sinar
ultra-violet lebih aktif dalam mempercepat oksidasi daripada sinar-sinar tampak
(visible light) karena sinar ultra-violet mempunyai panjang gelombang yang
lebih kecil sehingga energinya lebih besar.
Beberapa zat kimia
seperti ozon, peroksida, serta logam tertentu terutama tembaga, besi, dan
garam-garamnya juga dapat mempercepat oksidasi lemak. Beberapa enzim tertentu,
misalnya lipoksidase juga dapat bertindak sebagai katalis dalam reaksi
oksidasi, di mana enzim ini dapat terus aktif sampai di bawah suhu pembekuan.
Oksidasi lemak dan
produk berlemak menghasilkan bau yang tidak disukai yang dikenal sebagai
tengik. Untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidasi ini dapat ditambahkan
antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat digunakan untuk mencegah
atau menghentikan oksidasi. Antioksidan alami yang sering digunakan adalah
tokoferol atau vitamin E, sedangkan antioksidan sintetik yang biasa digunakan di
dalam makanan adalah BHA, BHT, NDGA, propel galat, 2,4,5-trihidroksi
butirophenon, dan lain-lainnya.