Keberhasilan
wirausahawan adalah saat usahanya dapat menghasilkan keuntungan atau laba,
mampu mempekerjakan banyak orang, memberikan bagi lingkungan sekitarnya, serta
dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negaranya.
Pengertian Sumber Daya Usaha
Pengertian sumber
daya usaha yang dikenal dengan 6M: Man (manusia); Money (uang);
Material (bahan); Machine (peralatan); Method (cara kerja) dan
Market (pasar); dalam Produksi Produk Elektronik Sederhana Sumber daya pokok
yang dikelola dalam sebuah usaha adalah manusia, uang, material, mesin, cara
kerja dan pasar. George R. Terry dalam bukunya Principle of Management
menyebutnya sebagai 6 M; Men and women, Materials, Machines, Methods, Money,
Markets.
Usaha elektronik
sederhana juga membutuhkan enam sumber daya pokok tersebut. Misalnya untuk
membuat sebuah usaha yang memproduksi radio, kita membutuhkan sumber daya
manusia yang terampil dalam membuat rangkaian elektronik dan sumber daya
manusia yang terampil dalam membuat casing serta kemasan dari produk radio
tersebut. Keterampilan khusus dari sumber daya manusia di sebuah daerah dapat
menjadi nilai tambah dari karya produk khas daerah.
Material yang
digunakan harus dipastikan selalu tersedia, agar produksi dapat berjalan. Tidak
hanya jumlah atau kuantitas, kualitas atau mutu material juga memegang peranan
penting. Material khas dari suatu daerah dapat menjadi pilihan untuk
menghasilkan karya produk rekayasa yang khas dari daerah tersebut. Mesin atau
alat bantu bermanfaat untuk membuat kerja menjadi lebih mudah dan cepat serta
menghasilkan karya dengan standar bentuk yang sama.
Methods atau cara
kerja adalah prosedur, pengaturan kerja yang digunakan dalam memproduksi karya
produk rekayasa sederhana untuk menghasilkan produk yang bermutu baik. Uang juga
merupakan sumber daya pokok yang dibutuhkan untuk keberlangsungan usaha,
misalnya untuk membeli material produksi, menggaji karyawan, dan berpromosi.
Besar kecilnya uang yang dibutuhkan bergantung pada besar kecilnya usaha yang
akan dibuat, serta seberapa besar kreativitas kita dalam memulai sebuah usaha.
Pada awal usaha,
uang yang kita butuhkan bisa jadi tidak terlalu besar jika kita terampil dalam
membuat produk dan kreatif dalam memanfaatkan material yang ada. ‘M’ yang
terakhir adalah market atau pasar sasaran. Pasar sasaran adalah siapa calon
konsumen atau pembeli produk radio sederhana yang kita buat. Pasar sasaran,
meskipun disebutkan terakhir, namun merupakan salah satu yang harus kita
pikirkan sejak awal. Pasar sasaran juga dapat menjadi titik berangkat munculnya
ide sebuah usaha, misalnya saat kita melihat adanya peluang pasar.
Ide sebuah usaha
bisa kita temukan dengan mengamati berbagai hal yang berada di sekeliling kita,
melihat potensi yang ada, dan peluang pasar yaitu melihat, mendengar, dan
memikirkan produk apa yang dibutuhkan, disukai atau diinginkan oleh calon
konsumen.
Berikut ini adalah
3 (tiga) buah artikel tentang wirausahawan Indonesia di bidang elektonik. Mari
kita perhatikan, sifat-sifat atau karakter apa yang mereka miliki dan hal apa
yang telah mereka berikan kepada lingkungannya.
Artikel 1
Dianggap
Pengemis Karena Keterbatasan Fisik
Keterbatasan fisik
bukan penghalang meraih kesuksesan. Paling tidak itulah yang tercermin pada
Sugimun, pemilik tiga unit toko elektronik “Cahaya Baru”. Suatu ketika Sugimun
pergi ke Solo untuk membeli mobil. Ketika akan masuk ke sebuah show room mobil,
seorang karyawan menghampirinya dan mengulurkan uang recehan kepadanya.
Diperlakukan
seperti itu Sugimun segera menukas, “Oh, saya bukan pengemis, Mas. Saya cari
mobil.” Tentu saja si karyawan tersebut kaget dan cepat-cepat masuk ke dalam
sambil menanggung malu. Menurut Sugimun, si karyawan mengira dirinya seorang
pengemis karena menggunakan kursi roda, “Waktu itu sopir saya sudah duluan masuk
show room,” kenang Sugimun tersenyum.
Lelaki yang lahir
tahun 1970, di Dusun Mojopuro, Magetan, Jawa Timur ini adalah pemillik toko
elektronik “Cahaya Baru” di Kota Trenggalek dan Magetan, Jawa Timur. Bagi orang
Trenggalek , Magetan, dan sekitarnya, nama toko itu sudah tidak asing lagi.
“Cahaya Baru” dikenal sebagai toko elektronik yang cukup besar. Omsetnya sudah
mencapai 150 juta per bulan.
Sugimun memberi
nama tokonya dengan “Cahaya Baru”, dengan maksud untuk mewakili sebuah harapan
baru bagi diri dan keluarganya, Keberhasilan Sugimun seperti sekarang tidak
lepas dari usaha dan doa ibunya. Maklum, selain sejak kecil cacat, Sugimun juga
lahir dari keluarga miskin. Saking miskinnya, ia tidak sempat menge- nyam
pendidikan formal. “Sekolah TK saja enggak pernah,” kenangnya.
Perubahan kehidupan
Sugimun berawal pada usia 19 tahun. Ketika itu, seorang aparat desa, beberapa
orang dari Dinas Sosial datang ke rumahnya. Mereka mengajak Sugimun mengikuti
program penyantunan dan rehabilitasi sosial dan penyandang cacat di Panti
Sosial Bina Daksa (PSDB) “Suryatama” di kota Bangil, Jawa Timur. Di tempat
tersebut, Sugimun mengikuti bimbingan sik, mental, serta pendidikan kejar
Paket A. “Pada awalnya, saya merasa rendah diri karena semua teman saya
penyandang cacat memiliki pendidikan formal mulai dari SD, SMP bahkan ada yang
lulusan SMA,” kenangnya. Adapun dirinya belum mengenal baca tulis.
Namun, karena
tekadnya untuk bangkit dan tidak ingin bergantung pada orang lain, rasa rendah
diri itu dibuangnya jauh-jauh. Di Suryatama, ia belajar keterampilan elektronik
seperti radio, sound system, kipas angin, televisi, dan lain sebagainya,”
katanya. Setelah dua tahun mengikuti program pelatihan, Sugimun kembali pulang
kampung. Namun, ia tidak punya aktivitas di desanya. Akhirnya, ia mencoba
mencari kerja di tempat usaha servis elektronik. Sayangnya, kebanyakan berujung
pada penolakan. “Mungkin mereka menilai saya tidak cukup mampu bekerja dengan
baik karena kondisi sik seperti ini,” kenangnya. Yang menyedihkan, seringkali
ia disangka pengemis saat melamar pekerjaan.
Ia baru bisa
bekerja tatkala seorang teman di Kediri menerimanya sebagai karyawan sebuah
bengkel elektronik. Namun, karena suatu alasan, tidak sampai satu tahun, ia
memutuskan untuk pulang kampung. Ia pun mencoba melamar pekerjaan di kota
kelahirannya. Lagi-lagi ia kembali mendapatkan penolakan, “Hal ini membawa saya
pada kesimpulan bahwa saya harus membuka lapangan pekerjaan untuk bisa
bekerja,” katanya.
Sukses Berbekal Restu Sang
Ibu
Dengan kondisi ekonomi
yang serbasulit serta pengalaman yang ditolak berkali-kali membuat Sugimun
nekad berusaha sendiri. Berbekal restu sang ibu, tahun 1992 ia menjual
perhiasan emas milik ibunya senilai Rp. 15.000,-. Uang tersebut sebagian ia
pakai untuk menyewa lapak emperan pasar sayur Magetan. Di tempat yang kecil
itu, ia membuka usaha jasa servis elektronik dan menjual isi korek api. Dengan
perlengkapan seadanya, setiap hari ia melayani pelanggannya.
Untuk menjalankan
usahanya, Sugimun harus berjuang keras. Betapa tidak, jarak perjalanan dari
rumah ke tempat usahanya sangatlah jauh. Dari desanya yang terpencil, ia harus
berjuang menempuh jarak satu kilometer untuk menuju ke tempat mangkal angkutan
umum yang akan membawanya ke kiosnya. Belum lagi jarak menuju pasar sayur.
Ditambah lagi naik-turun angkutan umum. Bagi orang yang siknya normal, hal itu
bukan masalah. Namun bagi Sugimun yang kakinya layuh (lumpuh) akibat polio,
terasa berat.
Usahanya itu juga
terkadang ramai, terkadang sepi. “Namun, saya tetap yakin Allah Mahaadil,
Pengasih, dan Pemurah,” katanya. Dengan penuh ketelatenan dan kesungguhan,
Sugimun berusaha meraih kepercayaan para pelanggan, terutama dalam menepati
janji. Ia berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ia juga
tidak pelit menjelaskan kepada pelanggannya tentang kerusakan dan onderdil yang
harus dibutuhkan, termasuk harga dan kualitas onderdil yang bervariasi.
“Ternyata dengan cara seperti itu kepercayaan bisa didapatkan,” katanya.
Kiosnya semakin
sering dikunjungi orang. Berarti, kebutuhan akan onderdil elektronik juga
meningkat. Peluang inilah yang ia baca. Ia mulai menyisihkan uangnya untuk
modal pembelian onderdil. Sedikit demi sedikit ia juga melengkapi kiosnya
dengan barang elektronik. Karena makin lama barangnya kian banyak, akhirnya ia
memberanikan diri membeli toko. “Alhamdulillah ramai,” jelasnya. Kini ia telah
memiliki tiga unit toko.
Meski kini menjadi
orang sukses, Sugimun tidak lupa terhadap keluarganya. Sebagai anak tertua dari
delapan saudara, ia merasa bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan
adik-adiknya. Oleh karenanya, sebagian rezekinya ia gunakan untuk membantu
biaya pendidikan tiga orang adiknya. Ia mangajak mereka untuk membantu
menjalankan toko elektroniknya. Ia berharap agar kelak saudara-saudaranya yang
lain mampu mandiri. “Saya bahagia bisa menyekolahkan ketiga adik saya hingga
tamat SMU,” katanya.
Kebahagiaannya
makin lengkap ketika ia menemukan jodohnya bernama Nursiam. Perempuan yang ia
nikahi itu kini memberinya tiga orang anak. Selain itu, Sugimun juga membantu
orang-orang di daerah sekitarnya. Ia tidak membantu dalam bentuk uang,
melainkan berupa pemberian kesempatan pendidikan dan keterampilan. Ia membina
beberapa yatim dan anak cacat agar memiliki berbagai keterampilan yang berguna bagi
masa depan mereka kelak.
“Pengalaman masa
lalu membuat saya sadar, bahwa pendidikan dan keterampilan sangat berguna bagi
orang-orang seperti saya,” katanya sambil tersenyum. Ada tiga anak yatim cacat
yang kini ia asuh. Tidak banyak memang, tetapi paling tidak, ia telah berbuat
sesuatu untuk sesamanya.
Satu hal yang ia
syukuri, ia hanya cacat fisik, bukan cacat rohani. Cacat fisik yang ia alami
tidak membuatnya jatuh terpuruk mengharap belas kasih orang lain, melainkan
sebagai pelecut semangat untuk menggapai cita-cita mandiri. Kini, meski ia
secara sik tidak sempurna, tetapi ia mampu berbuat lebih. Melebihi dari apa
yang bisa dilakukan oleh orang normal. “Ini semua rahasia Allah, bahwa orang
cacat seperti saya, diberi kemampuan untuk membantu orang lain,” katanya.
Artikel 2
Gobel
Hidup Seperti Pohon Pisang
"Mengapa
memilih usaha radio transistor?" Begitu pertanyaan Presiden Soekarno
kepada pengusaha Drs. Thayeb Mohammad Gobel, di tahun 1950-an. Gobel menjawab
takzim: "Supaya pidato Bapak dapat sampai kepada orang-orang di desa, di
tempat jauh terpencil, di kaki-kaki gunung, di pulau-pulau, meski di
tempat-tempat tersebut belum ada listrik, Pak." Sejarah mencatat, hanya
dalam kurun waktu satu dasawarsa (1954-1964) kemudian, sekitar satu juta unit
radio transistor "Tjawang" berhasil diproduksi dan dipasarkan dengan
baik oleh Thayeb Gobel.
Situs Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) menyebutkan, Thayeb Mohammad Gobel, kelahiran Tapa,
Bone Bolango, Gorontalo, 12 September 1930, pengusaha sukses. Ia pelopor
industri elektronik Indonesia dengan mendirikan National Gobel. Bukti
kepeloporannya mengembangkan industri elektronik di Tanah Air, pemerintah
menganugerahinya Satya Lencana Pembangunan.
Kiprah Thayeb Gobel
dimulai 1954, dengan mendirikan PT. Transistor Radio Manufacturing, pabrik
radio transistor pertama di Indonesia, dengan nama brand 'Tjawang'. Ia bekerja
sama dengan pihak Matsushita Electric Industrial Co., Ltd., Japan, pada 1960
untuk "Technical Assistance Agreement." Hanya dua tahun setelah itu,
1962, ia melahirkan produk TV pertama di Tanah Air.
Ketika itu,
perusahaannya diminta merakit televisi hitam putih untuk Asian Games, di
Jakarta. Sejak itu, bisnisnya di bawah bendera PT National Gobel, terus
berkembang. Pada 27 Juli 1970, ia menjalin joint venture dengan Matsushita
Electric Industrial Co., Ltd., di bawah nama PT National Gobel. Panasonic
bekerja sama dengan National Gobel dalam penjualan produk-produk perusahaan
Jepang tersebut, di Indonesia.
Memasuki 1980,
National Gobel jadi Gobel Dharma Nusantara. Lebih satu dasawarsa setelah itu,
1991, menjelma National Panasonic Gobel. Lalu, 1 April 2004 berganti nama jadi
PT. Panasonic Gobel Indonesia. Sejak itu, setiap tahun Panasonic menciptakan
produk terbaik, sebagai upaya melestarikan budaya kedua perusahaan yang telah
diterapkan para pendirinya. Sampai saat ini, di Tanah Air, Panasonic tetap
brand elektronik paling terkemuka, dengan sederet produk inovatif. Mulai dari
TV plasma, kamera, AC, kulkas, mesin cuci, dan lain sebagainya.
Masa kecilnya tidak
terlalu menggembirakan. Perceraian orangtuanya membuat Thayeb Gobel dan
adiknya, Dhani Gobel, hidup menumpang dari saudara yang satu ke kerabat
lainnya. Meski tetap bisa berkumpul dengan ibu kandungnya saat bersekolah di
Sekolah Rakyat, ia tak sepenuhnya bisa bermanja-manja. Karena ibunya sudah
menikah lagi, dengan ayah tirinya, guru SD di Tinombolo. Selepas SR, ia hidup
dengan pamannya di Gorontalo.
Setelah itu, ia
pindah ke rumah pamannya yang lain, di Makassar. Di ibu kota Sulawesi Selatan
ia bersekolah di SMP dan SMA Yayasan Perguruan Sawerigading. Thayeb Mohammad
Gobel merajut mimpinya dari Desa Tapo, Gorontalo, Sulawesi Utara, tanah
kelahirannya. Sejak kecil ia memiliki obsesi kuat untuk maju. Dengan bekerja
keras, ia akhirnya meraih gelar sarjana.
Gobel menjalani
karir bisnisnya dari bawah. Dimulai dari tenaga administrasi di Makassar,
salesman di Dasaad Musin Concern, kepala cabang di Fasco Surabaya. Setelah
berganti-ganti pekerjaan, dari guru SMP hingga wakil direktur, Gobel mendirikan
perusahaan sendiri. Ia gagal sehingga terpaksa kembali jadi karyawan. Pada
1975, Thayeb Gobel mendapat beasiswa Colombo Plan untuk mempelajari plastik di
Jepang. Di Negeri Sakura itulah ia bertemu Konosuke Matsushita, yang
membekaskan kesan mendalam bagi keduanya. Kelak, kerja sama mereka melahirkan
bisnis elektronik yang mendunia.
Ketika kembali ke
dunia bisnis, bekal pengetahuannya sudah cukup. Thayeb tertarik terjun
berbisnis elektronik bermula dari pidato Presiden Soekarno. Ketika itu Bung
Karno menginginkan setiap petani bisa menikmati barang mewah, seperti radio dan
lemari es. Alhasil, kredit dari Bank Industri Nasional Rp5 juta, digunakannya
mendirikan PT. Transistor Radio Manufacturing, yang memproduksi radio merek
Tjawang.
Ketika itu, semua
komponen radionya diimpor dari Austria. Ia meraih sukses. Gobel yakin,
perangkat radio yang akan membawanya meraih kesuksesan. Ia berkeyakinan dengan
berbisnis radio, perusahaannya akan berkembang di masa-masa mendatang. Melalui
kontribusinya dalam mengembangkan industri elektronik inilah, Thayeb Mohammad
Gobel dikenang sebagai “Bapak Industri Elektronik di Indonesia”.
Gerakan 30
September 1965 nyaris membuat usahanya bangkrut. Akan tetapi, dengan tempaan
pengalaman, Gobel berhasil mengatasinya. Ketika itu, keempat koleganya menjual
sahamnya kepadanya.Keluarnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Usaha Patungan dengan
Pihak Asing, memberikan keberuntungan bagi Gobel. Pada 1970, ia melakukan
ekspansi usaha berpatungan dengan Matsushita Electric Industri Vo. Ltd dari
Jepang dengan modal US$15 juta. Perusahaan radionya berganti nama menjadi
National Gobel. Pada 1988, perusahaan ini menguasai 22 persen pangsa pasar
elektronik di Indonesia, dan mengekspor produknya ke 57 negara.
Thayeb Mohammad
Gobel - Konosuke Matsushita, sinergi dari dua loso perusahaan ini. Thayeb
Gobel berloso "Pohon Pisang", mitranya, Matsushita dikenal dengan
"Air Mengalir". Seperti cerita Rahmat Gobel, putra Thayeb Gobel,
penerus usaha keluarga itu, hingga kini kedua loso pendiri perusahaan itu,
bersatu dan membentuk sinergi luar biasa dalam membangun bisnis Panasonic di
Indonesia.
Gobel percaya,
pohon pisang simbol paling tepat untuk menggambarkan peran sebuah perusahaan di
tengah masyarakat. Kita tahu, tidak ada bagian dari pohon pisang yang tak dapat
digunakan. Semua berguna.
Lihatlah, buahnya
enak dimakan, daun dan bagian lainnya dapat dipakai untuk berbagai keperluan
sehari-hari. Sifat pohon pisang yang dapat tumbuh di mana saja menjadikannya
selalu tersedia di mana pun, dan regenerasinya sangat mudah. Itulah yang
menurut Gobel re‑eksi terbaik dari sebuah perusahaan. Layaknya pohon pisang,
perusahaan hendaknya berguna bagi masyarakat. Artinya, kehadiran perusahaan
harus bermanfaat bagi masyarakat.
Lalu, bagi
Panasonic, air pun demikian, tersedia dalam jumlah relatif banyak dan dapat
digunakan untuk berbagai keperluan, sesuai kebutuhan. Air sangat krusial untuk
kelangsungan hidup manusia. Seperti halnya air yang mengalir, produk elektronik
pun seharusnya mudah tersedia dengan harga terjangkau untuk kebutuhan
masyarakat. Sinergi dari kedua loso inilah yang membentuk produk-produk
Panasonic senantiasa berkualitas. Layaknya air, ia mengisi kebutuhan dari
tempat terendah hingga atas. Lalu, seperti pohon pisang, ia sangat berguna bagi
masyarakat.
Artikel 3
Sekarang kita juga
akan membahas tentang seorang entrepreneur hebat, pengembang desain produk
radio dan pastinya dikaji dari sudut pandang sociopreneur. Beliau bernama
Singgih Susilo Kartono. Seorang desainer produk dan entrepreneur. Karya beliau
yang hebat berupa radio kayu yang bernama ‘Magno’. Radio ini sudah memenangi
berbagai macam penghargaan di dunia internasional seperti Brit Insurance
Designs Of The Year London, Design Plus Award Germany dan Good Design Japan dan
masih banyak lagi. Nah, ada hal yang menarik saat penjurian di London.
Para juri
memberikan respons positif karena selain dari desain radionya yang unik dan
menarik, Pak Singgih juga membantu ekonomi daerah dengan mempekerjakan
masyarakat Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Saat Pak Singgih sedang
berada di tingkat akhir masa perkuliahan, beliau ‘disibukkan’ oleh berbagai
macam pertanyaan.
“Di manakah saya
akan bekerja setelah lulus nanti? Sebagai desainer produk rumahan atau
kantoran? Apakah akan bekerja di kota? Atau, balik ke Kandangan di Temanggung
dan membuka usaha di sana?” Kemudian, Pak Singgih pun bekerja di Bandung selama
tiga tahun. Setelah itu, beliau kembali ke Temanggung dan membuka perusahaan
Aruna Aruntala di sana.
Pak Singgih kembali
ke Temanggung karena ingin mengembangkan potensi daerahnya. Beliau awalnya
khawatir dengan perkembangan daerah Kandangan. Di Kandangan, pertanian
tradisional masih menjadi tulang punggung masyarakat. Tentunya, sektor ini
masih belum menjamin kesejahteraan masyarakat di masa depan. Memang, pertanian
merupakan sektor vital negara kita, Namun, terkadang uktuatif karena masih
sangat bergantung oleh kebijakan pemerintah.
Kebijakan
pemerintah seperti ketersediaan pupuk kimia, pembibitan yang berasal dari bibit
impor dan cara-cara bertani yang modern nan instan demi hasil maksimum
sangatlah tidak memberikan manfaat untuk masyarakat Kandangan. Karena sektor
pertanian yang tidak berkembang, banyak petani yang kehilangan lahan dan
pekerjaan. Ada yang mencari pekerjaan di luar Kota Temanggung atau memilih
tetap hidup ‘sederhana’ di sana. Kejadian perusakan alam pun meningkat di
daerah ini.
Pak Singgih mulai
membuat proyek pengerjaan radio Magno di tahun 2004 di bawah naungan perusahaan
baru, Piranti Works. Awalnya masih ‘meminjam lahan’ ruang tamu rumahnya sebelum
mendirikan pabrik yang memiliki luas 15 x 18 meter. Pabrik ini mempekerjakan
karyawan yang berasal dari Desa Kandangan sendiri. Proses pengerjaan radio
magno pun terbilang rapi dan mendetail.
Karyawan-karyawannya
yang asli Desa Kandangan ini tak hanya harus ahli dalam soal kayu dan desain.
Mereka juga dibiasakan dengan etos kerja yang disiplin. Selain memberikan
pekerjaan, Pak Singgih juga memberikan “soft skill” kepada para karyawannya
mengenai leadership dan kerja sama tim.
Radio Magno pun
mengalami kenaikan permintaan. Peminat terbesar datang dari Amerika, Jepang dan
Eropa. Bahkan ada seseorang yang bilang, lebih gampang mencari radio Magno di
London daripada di Jakarta. Sebanyak 50 unit selalu dikirim ke Jepang secara
rutin sejak tahun 2005. Malah, Amerika pernah memesan 10.000 unit dari radio
Magno. Kapasitas produksi Magno sekarang mencapai 300 unit per bulan.
Desainnya yang
sederhana dan ramah lingkungan memang menjadi daya tarik dari radio Magno. Saat
ini, omset radio Magno mencapai 750 juta rupiah per bulan, dengan harga jual
radio Magno mencapai sekitar $ 300.00 Karena bahan dasar radio Magno adalah
kayu, Pak Singgih juga merasa bertanggung jawab terhadap alam. Desain radio
Magno sendiri memiliki konsep pemaksimalan desain dan fungsi daripada membuat
produk besar dengan menggunakan materi kayu yang banyak.
Beliau membuat
program tree nursery. Beliau melakukan replanting dan pembibitan pohon kayu.
Bibit pohon yang ditanam berdasarkan penggunaan materi kayu radio Magno dan
untuk melestarikan alam di sana. Beliau juga bekerja sama dengan pihak sekolah
untuk mengembangkan kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk mencintai dan
bertanggung jawab terhadap alam. Selain menjadi good designer, Pak Singgih juga
berperan sebagai sociopreneur dan ecopreneur.