Masa pendudukan Jepang merupakan salah satu periode
yang paling menentukan dalam sejarah pergerakan di Indonesia, walaupun waktunya
hanya selama tiga setengah tahun. Imperialisme Jepang memberi sumbangan
langsung pada perkembangan pergerakan nasional Indonesia, terutama di Jawa dan
di Sumatera. Jepang mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai generasi muda
serta memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin
hubungan dengan rakyat.
Di seluruh wilayah Indonesia mereka mempolitisasikan
bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan
menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat sangat menindas dan
merusak dalam sejarahnya. Pada masa ini Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah
oleh Jepang. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa
dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di
bawah Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh
angkatan laut. Kebijakan di antara wilayah-wilayah tersebut sangat berbeda.
Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun
secara ekonomi kurang penting, sumberdaya utama adalah manusia. Kebijakan-kebijakan
Jepang di Jawa dalam melaksanakan imperialsmenya membangkitkan rasa kesadaran
nasional yang jauh lebih mantap daripada di kedua wilayah lainnya, dengan
demikian semakin memperbesar perbedaan tingkat kecanggihan politik antara Jawa
dan daerah lainnya.
Dikarenakan pentingnya arti
perkembangan-perkembangan itu bagi masa yang akan datang, maka Jawa juga
mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sumatera
mempunyai arti yang penting untuk pihak Jepang karena sumber-sumber strategisnya
dan baru ketika Jepang berada di ambang kekalahan ide-ide nasionalisme
diperbolehkan berkembang di sana.
Bagi Jepang, wilayah yang berada di bawah kekuasaan
angkatan laut dianggap terbelakang secara politik dan penting secara ekonomi;
pemerintahan atas wilayah tersebut bersifat sangat menindas. Untuk menyapu
bersih pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta pengambilalihan pemerintahan
memerlukan waktu berbulan-bulan. Salah satu tugas pertama pihak Jepang adalah
menghentikan revolusi-revolusi yang mengancam upaya penaklukan mereka.
Serangan terhadap orang-orang Eropa, perampokan
terhadap rumah-rumah mereka di Banten, Cirebon, Surakarta, dan daerah-daerah
lainnya menjurus ke suatu gelombang revolusi. Di Aceh dan di Sumatera Barat dan
Timur ketegangan-ketegangan di antara penduduk asli yang timbul dari jaman
penjajahan Belanda mulai meletus. Para pemimpin agama (ulama) Aceh membentuk
PUSA (Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 di bawah pimpinan
Mohammad Daud Beureu'eh (1899-1987) untuk mempertahankan Islam dan mendorong
pemodernisasian sekolah-sekolah Islam.
Organisasi tersebut segera menjadi pusat perlawanan
terhadap pejabat-pejabat keturunan uleebalang, yang mendapat dukungan Belanda.
PUSA telah menghubungi pihak Jepang dan merencanakan akan membantu serangan
mereka. Pada tanggal 19 Februari 1942, tiga minggu sebelum mendaratnya Jepang
di daerah itu, para ulama Aceh memulai suatu kampanye sabotase terhadap Belanda
dan pada awal bulan Maret Aceh memberontak.
Kebanyakan para uleebalang memutuskan untuk tidak
melawan arus, dan Belanda tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengungsi ke
selatan. Para pemimpin PUSA berharap pihak Jepang menghadiahi mereka atas
usaha-usaha mereka menggeser kekuasaan para uleebalang. Di Sumatera Timur orang-orang
Batak Karo bersama pimpinan Gerindo yang beraliran nasionalis membantu pihak
Jepang dengan harapan menyaksikan terdepaknya kaum bangsawan dukungan Belanda
dari kekuasaan mereka.
Mereka mulai mendiami tanah yang mereka nyatakan
sebagai milik mereka sendiri dan menyerang lawan-lawan mereka, terutama di
daerah Deli pada bulan Juni-Juli 1942. Seperti halnya Belanda, Jepang harus
memerintah Indonesia dan tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyandarkan diri
pada orang-orang setempat yang berpengalaman, diantaranya adalah: para raja di
Sumatera Timur, para penghulu di Minangkabau, para uleehalcing di Aceh, para
penguasa priyayi di Jawa, dan kelompok-kelompok serupa di daerah-daerah
lainnya.
Walaupun sudah sejak lama propaganda mereka
ditujukan untuk mendapatkan simpati para pemimpin Islam, tetapi pihak Jepang menyadari
bahwa suatu kelompok yang pada dasarnya telah menolak bekerja sama dengan
Belanda mungkin pula akan menyusahkan mereka. Mereka memberi para pemimpin
Islam kesempatan yang tidak pernah diberikan oleh Belanda, yaitu kebebasan
untuk mengembangkan agama islam.
Akan tetapi, kesempatan itu baru diberikan ketika
kekalahan Jepang sudah tak terelakkan lagi. Pihak Jepang memutuskan untuk
membiarkan gelombang revolusi berjalan dengan harapan menghalangi penaklukan
kembali oleh Sekutu. Tujuan utama Jepang adalah menyusun dan mengarahkan
kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan
rencana mendominasi ekonomi jangka panjang Asia Timur dan Tenggara.
Peraturan-peraturan baru yang mengendalikan dan
mengatur kembali hasil-hasil utama Indonesia serta putusnya hubungan dengan
pasar ekspor tradisional menimbulkan kekacauan dan penderitaan. Jepang tidak
dapat menampung semua hasil ekspor Indonesia, dan kapal-kapal selam pihak
Sekutu banyak menimbulkan kerugian terhadap pelayaran Jepang sehingga
komoditi-komoditi yang diperlukan Jepangpun tidak dapat dikapalkan dalam jumlah
yang memadai.
Pada tahun 1943 produksi karet sekitar seperlima
tingkat produksi tahun 1941 (di Jawa dan Kalimantan Barat produksi karet hampir
terhenti sama sekali), dan produksi teh sekitar sepertiganya. Jepang dan
Formosa (Taiwan) akan menjadi pemasok utama gula untuk kawasan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya, sehingga komoditi yang merupakan sumber pokok
pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini (terutama bagi para buruh upahan
yang tidak memiliki tanah) akan menurun.
Pihak Jepang mulai mengambil alih
perkebunan-perkebunan tebu pada bulan Agustus 1943, dan pengelola-pengelolanya
yang berkebangsaan Eropa ditawan. Demikian pula perkebunan tembakau yang luas
di Sumatera Timur diubah untuk produksi pangan. Sementara itu, pemerintahan
militer membanjiri Indonesia dengan mata uang pendudukan, yang mendorong
meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 seterusnya. Pada pertengahan
tahun 1945 mata uang ini bernilai sekitar 2,5 persen dari nilai nominalnya.
Pengerahan pangan, tenaga kerja secara paksa, dan
kekacauan umum mengakibatkan timbulnya kelaparan, terutama pada tahun 1944 dan
1945. Angka kematian meningkat dan kesuburan menurun; sepanjang yang diketahui,
pendudukan Jepang adalah satu-satunya periode selama dua abad yang tidak
berhasil meningkatkan jumlah penduduk secara berarti.
Seperti wilayah pendudukan lainnya, Indonesia
menjadi suatu negeri yang tingkat penderitaan, inflasi, pencatutan, korupsi,
pasar gelap, dan kematian penduduknya yang paling ekstrem. Kebijaksanaan Jepang
terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas; menghapuskan
pengaruh-pengaruh barat di kalangan mereka dan memobilisasi mereka demi
kemenangan Jepang. Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia
untuk kepentingan mereka sendiri.
Mereka menghadapi banyak masalah yang sama dengan
yang dihadapi Belanda dan menggunakan banyak cara pemecahan yang sama (malah
hukum kolonial Belanda tetap berlaku terkecuali yang bertentangan dengan hukum
militer Jepang). Akan tetapi, di tengah-tengah suatu perang besar yang
memerlukan pemanfaatan maksimum atas sumber-sumber, pihak Jepang memutuskan
untuk berkuasa melalui mobilisasi (khususnya di Jawa dan Sumatera) daripada
dengan memaksakan suatu ketenangan yang tertib.
Berkembangnya peperangan, mengakibatkan usaha Jepang
semakin menggelora untuk memobilisasikan rakyat Indonesia dalam meletakkan
dasar bagi Revolusi. Pada bulan Mei 1942 suatu serangan terhadap Australia
terhenti dalam pertempuran Laut Koral. Suatu serangan serupa terhadap Hawai
terhenti di Midway pada bulan Juni. Pada bulan Agustus 1942 pasukan Amerika
mendarat di Guadalkanal (Kepulauan Solomon) dan pada bulan Februari 1943 pihak
Jepang telah dipukul mundur dari sana dengan menderita banyak kerugian.
Mulai tahun 1943 Amerika Serikat menjadi pihak
ofensif di Samudera Pasifik. Oleh karena itu, maka kebijaksanaan Jepang di
Indonesia berkembang dalam konteks militer yang terus-menerus memburuk. Barulah
ketika perang mendekati akhir, Jepang benar-benar menyadari bahwa kekalahan
sudah tidak terelakkan lagi. Namun demikian sudah sejak tahap pertama
pendudukan mereka atas Indonesia mereka merenungkan kemungkinan akan serbuan
pihak Sekutu.
Untuk memusnahkan pengaruh Barat di Indonesia, pihak
Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris dan memajukan
pemakaian bahasa Jepang. Pelarangan terhadap buku-buku yang berbahasa Belanda
dan Inggris, membuat pendidikan yang lebih tinggi benar-benar mustahil selama
masa perang. Kalender Jepang diperkenalkan untuk tujuan-tujuan resmi,
patung-patung Eropa diruntuhkan, jalanjalan diberi nama baru, dan Batavia
dinamakan Jakarta lagi.
Kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk
meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara
seperjuangan dalam perang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia.
Para petani pun diberi pesan ini melalui pengeras suara radio yang dipasang
pada tiang di desa mereka. Upaya propaganda ini mengalami kegagalan karena
kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, kekacauan ekonomi,
teror polisi militer (kenpeitai), kerja paksa dan penyerahan wajib beras,
pemukulan dan pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang
Jepang.
Bagaimanapun juga, kampanye anti barat ini
mempertajam sentimen anti Belanda di kalangan masyarakat Indonesia dan
mendorong penyebaran konsepsi Indonesia di kalangan rakyat. Karena bahasa
Jepang hanya sedikit diketahui, maka bahasa Indonesia menjadi sarana bahasa
yang utama untuk propaganda dan memperkokoh statusnya sebagai bahasa nasional.
Sampai bulan Agustus 1942 Jawa tetap berada di bawah
struktur pemerintahan sementara, tetapi kemudian dilantik suatu pemerintahan
yang dikepalai oleh seorang gubernur militer (Gunseikan). Banyak orang
Indonesia diangkat untuk mengisi tempat pejabat-pejabat Belanda yang ditawan,
tetapi banyak pula pejabat-pejabat berkebangsaan Jepang yang diangkat.
Kebanyakan pejabat-pejabat baru yang berkebangsaan Indonesia itu adalah para
mantan guru, dan kepindahan mereka dari sistem pendidikan mengakibatkan
mundurnya standar pendidikan secara tajam.
Untuk membantu orang Jepang mengatur negeri ini maka
di samping para pejabat baru tersebut pihak Jepang di Jawa juga mencari
pemimpin politik guna membantu memobilisasikan rakyat. Pertama-tama mereka
menghapuskan semua organisasi-organisasi politik dari jaman sebelum Jepang.
Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan kemudian semua perkumpulan
yang ada secara resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk
organisasi-organisasi baru. Sejak mula pertama Islam tampak menawarkan suatu
jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa
sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu).
Pada bulan April 1942 usaha pertama pada suatu
gerakan rakyat, "Gerakan Tiga A", dimulai di Jawa. Nama ini berasal
dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.
Pada bulan Juli didirikan suatu subseksi Islam yang dinamakan Persiapan
Persatuan Umat Islam di bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso (lahir tahun
1897). Abikoesno untuk sementara dianggap oleh pihak Jepang sebagai pemimpin
Islam Indonesia. Akan tetapi, tidak lama, pihak Jepang mulai meragukan
pemimpin-pemimpin Islam Modern.
Pada umumnya Gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai
tujuan. Para pejabat Indonesia hanya sedikit memberi dukungan, tidak ada
seorang nasionalis Indonesia yang terkemuka terlibat di dalamnya, bahkan pada
masa-masa awal pendudukanpun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapinya
secara serius. Pihak Jepang mulai menyadari bahwa apabila mereka akan
memobilisasi rakyat Jawa maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka
gerakan nasionalis sebelum perang.
Sjahrir dan Hatta telah dipulangkan ke Jawa oleh
pihak Belanda tidak lama sebelum penyerangan Jepang. Kedua tokoh ini menentang
fasisme dan telah menawarkan dukungan mereka kepada pihak Belanda. Hatta dan
Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang
bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang. Hatta akan
bekerja sama dengan pihak Jepang, berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan
mereka, dan memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Sjahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk
suatu jaringan ”bawah tanah” yang didukung oleh mantan anggota PNI-Baru, dan
akan berusaha menjalin hubungan dengan pihak Sekutu. Pada tanggal 9 Juli 1942
Sukarno, oleh pihak Jepang di Sumatera atas permintaan Angkatan Darat ke-16,
bergabung dengan Hatta dan Sjahrir. Sukarno tidak begitu tertarik terhadap
perbedaan-perbedaan teoretis antara fasisme dan demokrasi dan menganggap perang
tersebut sebagai pertarungan antara kedua macam imperialisme.
Soekarno bergabung dengan Hatta bekerja sama dengan
pihak Jepang demi tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan Indonesia. Sukarno
dan Hatta mulai segera mendesak pihak Jepang supaya membentuk suatu organisasi
politik massa di bawah pimpinan mereka. Di luar Jawa ada beberapa perlawanan
dari kelompok-kelompok yang tidak ada kaitannya dengan kaum politisi perkotaan
dari masa sebelum perang. Pemberontakan petani terhadap pihak Jepang di Aceh
dipimpin oleh seorang ulama muda bulan November 1942, tetapi dapat ditumpas.
Di Kalimantan Barat dan Selatan pihak Jepang
mencurigai adanya komplotan-komplotan yang melawan mereka dari kalangan
orang-orang Cina, para pejabat, dan bahkan para sultan. Semua gerakan semacam
itu dihancurkan melalui penangkapan dan pemenjaraan, termasuk dua belas orang
sultan, di Kalimantan Barat. Suatu usaha untuk mendirikan sebuah negara Islam
di daerah Amuntai, Kalimantan Selatan, ditumpas pada bulan September 1943.
Pada akhir tahun 1944 orang-orang Dayak di Kalimantan
Barat mulai membunuhi orang-orang Jepang. Akan tetapi, tak satu pun dari bentuk-bentuk
perlawanan rakyat tersebut yang benar-benar mengancam kekuasaan Jepang, dan
semuanya mengalami akibat yang sangat buruk.
Di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang
serius sampai tahun 1944. Sementara itu, pihak Jepang mencari pemimpin-pemimpin
Indonesia untuk membantu mereka memobilisasikan rakyat demi kepentingan perang.
Pada bulan September 1942 di Jakarta diselenggarakan konferensi para pemimpin
Islam yang yang mengecewakan pihak Jepang dan memaksa mengalihkan pandangan
mereka kepada kelompok-kelompok pimpinan lainnya.
Pihak Jepang mengharap penggantian MIAI dari masa
sebelum perang dengan suatu organisasi baru yang berada di bawah bimbingan
mereka. Akan tetapi, para pemimpin Islam tidak hanya memutuskan untuk tetap
mempertahankan MIAI melainkan juga memilih pimpinan baru yang lebih didominasi
oleh tokoh-tokoh PSII daripada pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan NU yang pada
dasarnya bersifat nonpolitik. Pihak Jepang memang sudah meragukan para politisi
Islam perkotaan.
Jepang mulai menyadari bahwa jalan menuju rakyat
melalui Islam hanya dapat diberikan oleh Muhammadiyah dan NU yang memiliki
sekolah-sekolah, kegiatan-kegiatan kesejahteraan, dan hubungan informal yang
membentang dari wilayah perkotaan sampai ke kota-kota kecil serta desa-desa,
dan tidak mempunyai tuntutan politik yang jelas.
Pada bulan Oktober 1942 suatu pertemuan para
pimpinan daerah pendudukan di Tokyo diberitahu bahwa, dengan terhentinya kemajuan
militer, mobilisasi rakyat di wilayah-wilayah pendudukan harus diberi
prioritas. Kolonel Horie Choso, Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta,
melakukan perjalanan keliling Jawa pada akhir tahun itu, mengadakan pertemuan
dengan para guru agama (kyai) pedesaan yang sekolah pesantrennya tampaknya
menjadi alat yang ideal untuk memobilisasi dan mengindoktrinasi para pemuda.
Pada bulan Desember 1942 Horie mengatur agar tiga
puluh dua orang kyai diterima di Jakarta oleh Gunseikan, suatu kehormatan yang
tidak mungkin terjadi pada zaman Belanda. Pihak Jepang kini menemukan suatu
saluran untuk mobilisasi. Pada bulan Desember mereka membuka yang lain di depan
suatu pertemuan rakyat Jakarta dengan menjanjikan bahwa sebuah partai politik
baru akan segera didirikan.
Pada awal tahun 1943 pihak Jepang mulai usaha
mobilisasi. Gerakan-gerakan pemuda yang baru diberi prioritas tinggi dan di
bawah pengawasan ketat pihak Jepang. Pada bulan Agustus 1942 sekolah-sekolah
latihan bagi para pejabat dan guru baru sudah dibuka di Jakarta dan Singapura,
sehingga organisasi-organisasi pemuda berkembang secara jauh lebih luas.
Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan)
dibentuk pada bulan April 1943 untuk pemuda yang berusia antara 14 tahun dan 25
tahun (kemudian 22 tahun). Korps tersebut mempunyai cabangnya sampai ke
desa-desa yang besar, tetapi terutama aktif di daerah-daerah perkotaan. Untuk
para pemuda yang berusia 25 tahun sampai 35 tahun dibentuklah Korps Kewaspadaan
(Keibodan) sebagai organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu.
Pada pertengahan tahun 1943 dibentuklah Heiho
(pasukan pembantu) sebagai bagian dari angkatan darat dan angkatan laut Jepang.
Berbagai organisasi lainnya juga dibentuk. Pada semua organisasi itu terdapat
indoktrinasi yang intensif dan disiplin yang keras. Konon lebih dari dua juta
pemuda Indonesia berada dalam organisasi-organisasi semacam itu, kira-kira 60
persen di antaranya dalam Keibodan.
Pada bulan Maret 1943 organisasi politik yang
dijanjikan juga muncul di Jawa dan Gerakan Tiga A dihapuskan. Badan baru itu
dinamakan Putera, singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat. Badan ini berada di bawah
pengawasan ketat pihak Jepang, empat orang Indonesia yang terkemuka diangkat
sebagai ketuanya: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mas
Mansur, ketua Muhammadiyah dari masa sebelum perang.
Organisasi baru ternyata hanya mendapat sedikit
dukungan, dikarenakan pihak Jepang tetap tidak bersedia memberi kebebasan
kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang begitu potensial; misalnya, pihak Jepang
tidak memberi Putera kekuasaan atas gerakan-gerakan pemuda. Jepang mencoba
mengembangkan para guru Islam tradisional pedesaan sebagai mata rantai utama
mereka dengan rakyat Jawa.
Jepang banyak mengalami kesulitan dengan para
pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum Islam modern
di kota-kota. Haji
Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk ke arah timur sebagai
penghormatan kepada kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan kewajiban seorang
muslim untuk sholat menghadap kiblat.
Akhirnya, pihak Jepang sepakat tentang tidak
perlunya membungkukkan badan kepada kaisar pada upacara-upacara keagamaan.
Jepang juga menginginkan agar Perang Dunia II dinyatakan sebagai Perang Sabil,
yang dengan tegas ditolak oleh kaum muslim karena orang-orang Jepang, seperti
halnya Sekutu adalah kaum kafir. Jepang juga harus melupakan keinginan mereka
melarang pemakaian bahasa Arab, tetapi dengan syarat bahwa bahasa Jepang juga
diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan kurikulum pihak Jepang bagi mata
pelajaran non-agama diterima.
Pihak Jepang tetap mempertahankan Peraturan Guru
(goeroe ordonnantie) tahun 1925 dan para pejabat Indonesia bahkan
melaksanakannya secara lebih keras, baik dikarenakan perlawanan mereka terhadap
kaum elite Islam maupun rasa takut akan tindakan-tindakan disipliner pihak
Jepang apabila mereka tampak terlalu lunak. Pada 1943 pihak Jepang membawa
sekitar 60 kyai yang tinggal di pedesaan ke Jakarta untuk mengikuti kursus
latihan selama kurang lebih sebulan.
Sampai bulan Mei 1945 lebih dari 1.000 orang kyai
telah menyelesaikan kursus tersebut, di mana mereka mendengarkan beberapa
ceramah tentang masalah-masalah agama tetapi terutama diindoktrinasi dengan
propaganda Jepang. Untuk merangsang dukungan terhadap usaha perang yang
memburuk, maka Jepang mulai menjanjikan keterlibatan beberapa orang Indonesia
dalam urusan-urusan pemerintahan di Jawa.
Jumlah orang Indonesia yang menjadi penasihat
(sanyo) pemerintahan Jepang bertambah banyak, di Jakarta dibentuk Dewan Penasihat
Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Sukarno, dan dibentuk dewan-dewan
daerah (Shu Sangi-kai). Akan tetapi, kesemuanya itu bersifat penasihat belaka.
Sukarno, Hatta, dan ketua Muhammadiyah, Ki Bagus
Hadikusumo terbang ke Tokyo pada bulan November 1943 untuk diberi tanda jasa
oleh kaisar. Inilah saat pertama kali Sukarno berada di luar negeri atau
melihat sebuah negara industri. Perdana Menteri, Jenderal Tojo Hideki, menolak
permintaan penggunaan lagu kebangsaan Indonesia 'Indonesia Raya' atau bendera
Indonesia Sang Merah-Putih. Pihak Jepang masih tetap membutuhkan sumber alam
Indonesia untuk keperluan perang dan inilah yang tetap diutamakan mereka.
Tenaga kerja Indonesia mulai dieksploitasi lebih kejam daripada saat-saat
sebelumnya.
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang memerintahkan
penghimpunan “serdadu-serdadu ekonomi” (romusha), terutama para petani yang
diambil dari desa mereka di Jawa dan dipekerjakan sebagai buruh di mana pun
pihak Jepang memerlukan mereka, sampai ke Birma dan Siam. Tidak diketahui
berapa banyak orang yang terlibat, tetapi kemungkinan besar paling sedikit
200.000 orang dan mungkin sampai sebanyak setengah juta orang, yang di antara
mereka tidak lebih dari 70.000 orang yang ditemukan dalam keadaan hidup.
Pada saat yang sama pihak Jepang memberlakukan
peraturan-peraturan baru bagi penjualan beras secara wajib kepada pemerintah
dengan harga rendah, guna memenuhi kebutuhan balatentara Jepang. Para pejabat
Indonesia harus melaksanakan pengerahan romusha dan penyerahan beras secara
wajib sangat dibenci para penduduk desa. Pada Oktober 1943 Jepang membentuk
organisasi pemuda Indonesia, yaitu Peta (Pembela Tanah Air).
Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela
Indonesia yang pada akhir perang beranggotakan 37.000 orang di Jawa dan sekitar
20.000 orang di Sumatera. Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi
bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya
pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu.
Korps perwiranya meliputi para pejabat, para guru,
para kyai, dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial
Belanda. Di antara mereka adalah seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang
bernama Soedirman (1915-1950), yang kemudian menjadi salah seorang tokoh
militer terkemuka pada masa revolusi. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide
nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi.
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang juga membentuk
organisasi baru untuk mengendalikan Islam. MIAI dibubarkan dan digantikan oleh
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang di setiap
keresidenan di Jawa. Kepemimpinan Masyumi diserahkan kepada tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan NU. Pendiri NU, Hasjim Asjari, dijadikan sebagai ketuanya
namun dia tetap tinggal di pesantrennya di Jombang dan yang menjadi ketua
efektif adalah putranya, Kyai Haji Wachid Hasjim (1913-1953).
Pada bulan Januari 1944 Putera digantikan oleh suatu
gerakan rakyat yang baru dalam rangka mencari suatu organisasi atap yang lebih
memuaskan guna memobilisasi penduduk Jawa. Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian
Jawa) didirikan bagi setiap orang yang berusia lebih dari empat belas tahun.
Gunseikanlah yang menjadi ketua persatuan tersebut, sedangkan Sukarno dan
Hasyim Asyari dijadikan penasihat utamanya dan pengelolaannya diserahkan kepada
Hatta dan Mansur.
Jepang bermaksud memanfaatkan para pemimpin
Indonesia untuk memajukan tujuan mereka sendiri, tetapi para pemimpin Indonesia
tersebut kini mengambil keuntungan dari orang-orang Jepang. Sukarno berhasil
memanfaatkan tamasya propaganda bagi Hokokai untuk memperkokoh posisinya
sendiri sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. Para penguasa priyayi terikat
secara langsung pada organisasi baru itu dengan menjadikan mereka sebagai
ketuanya pada setiap tingkat pemerintahan.
Hokokai juga memiliki suatu alat organisasi untuk
menembus desa-desa. Rukun Tetangga (dalam bahasa Jepang: Tonari Gumi) dibentuk
untuk mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas
sepuluh sampai dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi, dan
pelaporan. Para penguasa tingkat bawah dan kepala-kepala desa bertanggung jawab
atas sel-sel tersebut. Pada bulan Februari 1944 para kepala desa juga mulai
menjalani kursus-kursus indoktrinasi. Akan tetapi, pihak Jepang mulai menyadari
bahwa mereka akan kalah dalam perang dan kehilangan kendali atas kekuatan
rakyat yang sudah digairahkan mereka.
Pada bulan Februari 1944 perlawanan serius pertama
kaum tani di Jawa terhadap kewajiban menyerahkan beras meletus di sebuah desa
di Priangan dan berhasil ditumpas secara kejam. Kepemimpinannya dipangku oleh
seorang kyai NU setempat dan murid-muridnya, yaitu orang-orang dari kelompok
yang justru paling diharapkan pihak Jepang dapat dimanfaatkan. Sejak saat itu
protes-protes kaum tani yang terisolasi menjadi semakin meluas.
Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung,
para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah,
yang dalam banyak hal ada di bawah pengaruh Sjahrir. Mereka tahu bahwa posisi
Jepang di dalam perang memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-rencana
untuk merebut kemerdekaan nasional. Pada bulan Februari 1944 Tojo meletakkan
jabatan dan Jenderal Koiso Kuniaki menggantikannya sebagai perdana menteri
(1944-1945) dengan membawa kecenderungan yang lebih besar untuk memikirkan
kemerdekaan semu bagi Indonesia.
Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso
menjanjikan kemerdekaan bagi “Hindia Timur” (To-Indo, istilah dalam bahasa
Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954). Akan tetapi,
Koiso tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa
bangsa Indonesia akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai
ungkapan rasa terima kasih. Sementara pihak angkatan laut masih tetap menentang
setiap usaha untuk memajukan nasionalisme di wilayah kekuasaannya, seorang
perwira angkatan laut yang luar biasa ditempatkan di Jawa melakukan peranan
aktif.
Laksamana Madya Maeda Tadashi bertugas menangani
kantor penghubung angkatan darat-angkatan laut di Jakarta. Dia mempunyai
pandangan-pandangan maju mengenai nasionalisme Indonesia. Dia menggunakan dana
angkatan laut untuk membiayai perjalanan pidato keliling Sukarno dan Hatta,
bahkan mengirim mereka ke Makasar pada bulan April 1945 serta ke Bali dan
Banjarmasin pada bulan Juni.
Pada bulan Oktober 1944 dia juga mendirikan asrama
Indonesia Merdeka di Jakarta, atau untuk melatih para pemimpin pemuda yang baru
bagi sebuah negara yang merdeka, atau untuk menemukan cara menembus
jaringan-jaringan bawah tanah pemuda yang telah ada. Maeda menjadi orang
kepercayaan banyak orang Indonesia terkemuka dari berbagai tingkat usia, dan
memberikan sumbangan pada proses yang menjadikan para pemimpin dari generasi
muda dan tua saling mengenal dan memahami (jika tidak selalu saling
menghormati) satu sama lain di Jakarta.
Pada bulan Desember 1944 Masyumi diperbolehkan
memiliki sayap militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan), dan
mempunyai 50.000 orang anggota. Kepemimpinannya didominasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII yang dipimpin oleh Agus Salim.
Pada bulan November 1944 orang-orang Indonesia mulai
diangkat menjadi wakil presiden. Para penasihat (sanyo) dihimpun ke dalam
semacam majelis tinggi (Dewan Sanyo, Dewan Penasihat) dari Dewan Penasihat
Pusat yang mempunyai wewenang memberikan nasihat yang agak lebih luas. Para
pejabat tinggi tersebut diikutkan dalam kursus-kursus indoktrinasi pada bulan
Januari 1945, suatu pengalaman baik yang mendorong pemikiran nasionalis di
antara mereka maupun meningkatkan ketidaksenangan mereka terhadap Jepang yang
mengharuskan mereka menjalani sesuatu yang merendahkan martabatnya. Jepang
akhirnya harus memberikan janji kemerdekaan mereka karena runtuhnya posisi
militer mereka yang berlangsung secara cepat itu.
Pada bulan Pebruari 1945 detasemen Peta di Blitar
(Jawa Timur) menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu
Jepang. Enam puluh delapan orang prajurit Peta diajukan ke depan mahkamah
militer (8 orang di antaranya dihukum mati) dan 4 orang pejabat senior
Indonesia dipaksa untuk meletakkan jabatan. Kini pihak Jepang mulai merasa
takut bahwa mungkin mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia
yang telah mereka ciptakan.
Perasaan takut ini menjadi semakin kuat pada bulan
Maret ketika angkatan bersenjata serupa di Birma berbalik melawan mereka dan
bergabung dengan pasukan penyerbu Sekutu. Karena mengetahui bahwa mereka
menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang memutuskan untuk menghapus
kekangan terhadap kekuatan rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak
unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di dalam hierarki Jepang supaya
bertindak dengan cepat, karena mereka benar-benar mengetahui bahwa bibit-bibit
revolusi telah tertanam di Jawa.