Perusahaan dagang ini diberikan hak-hak istimewa
oleh Pemerintah Belanda. Hak-hak yang diberikan kepada VOC itu disebut hak
octrooi, yang isinya memberikan hak kepada VOC sebagai berikut:
1. memperoleh hak
monopoli perdagangan;
2. memperoleh hak untuk
mencetak dan mengeluarkan uang sendiri;
3. dianggap sebagai
wakil pemerintah Belanda di Asia;
4. berhak mengadakan
perjanjian;
5. berhak memaklumkan
perang dengan negara lain;
6. berhak menjalankan
kekuasaan kehakiman;
7. berhak mengadakan
pemungutan pajak;
8. berhak memiliki
angkatan perang sendiri;
9. berhak mengadakan
pemerintahan sendiri.
Akibat hak-hak monopoli yang dimilikinya, VOC bisa
memaksakan kehendaknya pada perusahaan-perusahaan perdagangan nusantara untuk
mengikuti kehendak VOC, yang sangat merugikan para pedagang nusantara. Tindakan
ini tentu saja menimbulkan permusuhan dari para pedagang nusantara, apalagi
sistem monopoli bertentangan dengan sistem tradisional yang berlaku saat itu.
Jaringan perdagangan rempah-rempah Maluku ke Malaka yang dikuasai pedagang
Islam akhirnya jatuh ke tangan VOC.
Dalam upaya mempertahankan monopoli perdagangannya,
VOC meningkatkan kekuatan militernya dengan cara membangun benteng-benteng
pertahanan. Benteng-benteng pertahanan tersebut didirikan di Ambon, di Malaka
(setelah direbut dari Portugis), di Makassar, dan di Jayakarta (yang pada 1619
diubah namanya menjadi Batavia). Kota Batavia ini menjadi pelabuhan penting
alternatif dari Maluku dan Malaka selain juga menjadi pusat operasional VOC
atas seluruh nusantara.
Penguasa Jayakarta, Pangeran Jayakarta, tidak
berhasil mengusir penguasa VOC, tetapi sebaliknya Jan Pieterzoon Coen pimpinan
VOC, berhasil menguasai seluruh kota ke tangan VOC. Praktek VOC dalam melakukan
monopoli perdagangan serta memaksakan kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan
di nusantara sangat tidak manusiawi dan menyakitkan. Cara-cara kekerasan,
peperangan, adu domba, penindasan, dan tindakan kasar lainnya telah menyebabkan
penderitaan yang tidak terkirkan bagi bangsa Indonesia.
Misalnya pada 1620 VOC telah mengusir dan membunuh
seluruh penduduk yang tidak mau menyerahkan rempah-rempahnya pada mereka
(Ricklefs, 1991). Pada tahun-tahun berikutnya, satu persatu pusat-pusat perdagangan
Islam nusantara dihancurkan dan dikuasainya. Demikian juga dengan
kerajaan-kerajaan di nusantara. Cara-cara tipu muslihat, adu-domba, penetrasi
terhadap urusan internal kerajaan, terutama di Jawa ditempuhnya. Selama kurang
lebih 200 tahun, beberapa kerajaan Nusantara jatuh ke tangan VOC.
Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Maluku, Banda,
Ambon, Makassar, dan Bone dikuasainya. VOC dalam menjalankan kongsi dagangnya
tidak hanya bergerak di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang militer dan
politik, yang dilakukan dengan penguasaan wilayah kerajaan-kerajaan di Hindia
Belanda serta penghancuran terhadap wilayah yang tidak mau dikuasai. Kepada
masyarakat VOC juga menerapkan praktek kerja paksa, penyetoran upeti,
feodalisme, penghisapan, dan penyerahan hasil pertanian.
Kondisi ini menyebabkan rakyat Indonesia secara
sosial, ekonomi, politik, dan psikologis mengalami penderitaan dan kesengsaraan
yang tidak terkirakan parahnya. Meskipun VOC telah berhasil menaklukan beberapa
kerajaan di nusantara, menghancurkan sistem perdagangan tradisional yang selama
ini berkembang serta memberi penderitaan pada masyarakat Indonesia, namun
organisasi tersebut akhirnya mengalami kemunduran, dan dibubarkan pada tahun
1799.